Selama tiga tahun terakhir membangun bisnis, saya, seperti banyak founder muda lainnya, hidup dengan satu mantra finansial: high risk, high return. Itu adalah mentalitas yang wajar ketika Anda sedang membangun sesuatu dari nol. Saya belum mengenal apa yang kini saya sebut sebagai strategi kekayaan 3 lapis; fokus saya murni agresi, bukan pondasi.
Mekanisme saya sederhana: dapatkan klien, bagi dua (satu untuk operasional perusahaan, satu untuk konsumtif), lalu ambil 30% dari dana konsumtif itu untuk langsung saya lempar ke arena berisiko tinggi seperti kripto dan saham.
Itu adalah era ‘serang terus’. Saya hanya fokus pada satu hal: memperbesar tabungan dan aset investasi secepat mungkin. Tapi di balik agresi itu, ada sebuah kekacauan yang tersembunyi—sebuah kerapuhan yang tidak saya sadari.
Baca Juga: Cerita Jam Tangan: Bagaimana ‘The Goldie’ Mengubah Waktu Menjadi Status
Momen ‘Audit Diri’: Ketika ‘Cukup’ Ternyata Belum Terstruktur
Pemicunya bukanlah kerugian besar atau sebuah market crash. Pemicunya jauh lebih personal: sebuah momen ‘audit diri’.
Di usia 24 tahun, saya berhenti sejenak dan melihat portofolio saya. Asetnya bertumbuh, angkanya terlihat bagus. Tapi saya sadar, keuangan dan kekayaan yang telah saya bangun tiga tahun terakhir ini benar-benar kurang terstruktur. Saya punya aset, tapi saya tidak punya pondasi.
Ironisnya, saya merasa ‘sudah cukup’. Saya merasa kekayaan saya saat itu bisa menanggung risiko apa pun. Ini adalah jebakan klasik. Perasaan ‘cukup’ membuat saya mengabaikan prinsip-prinsip dasar. Saya sadar perlu ada perombakan besar jika saya serius ingin membangun sesuatu yang bertahan lama (a life of consequence).
Memperkenalkan Strategi Kekayaan 3 Lapis Saya
Dari audit itu, saya merombak total pendekatan saya. Saya beralih dari profil risiko tinggi ke moderat, dan saya mulai membangun strategi kekayaan 3 lapis ini secara disiplin.
Ini bukan sekadar diversifikasi. Ini adalah soal membangun benteng pertahanan sebelum kita bicara soal penyerangan.
Lapisan 1 – Pondasi yang Sengaja Saya Abaikan (Dana Darurat)
Ini bagian paling ironis dari perjalanan saya. Saya tahu persis apa itu dana darurat. Saya membacanya di mana-mana. Tapi, saya tidak pernah secara resmi mempersiapkannya. Saya hanya mengandalkan cash flow dan aset yang ada.
‘Audit diri’ itu menyadarkan saya bahwa itu adalah sebuah kebodohan. Sekarang, Lapisan 1 adalah fondasi saya. Saya menyiapkannya secara rapi dan disiplin di Reksadana Pasar Uang (RDPU). Ini adalah lapisan ‘sentuh jika kiamat’, dan menaruhnya di instrumen khusus adalah bentuk disiplin, bukan sekadar alokasi.
Lapisan 2 – Jembatan Menuju Masa Depan (Tujuan Jangka Menengah)
Setelah pondasi aman, saya membangun jembatan. Di usia 24 tahun, ada hal-hal besar di depan mata yang perlu saya raih—menikah, membangun rumah, dan tujuan-tujuan besar lainnya.
Uang di lapisan ini berhenti menjadi sekadar angka di layar; ia menjadi alat untuk membangun hidup. Saya menempatkannya secara bertahap di Reksadana Pendapatan Tetap (RDPT), sebuah instrumen yang lebih stabil yang dirancang untuk tujuan jangka menengah.
Lapisan 3 – Arena Pertumbuhan (Bagian dari Strategi 3 Lapis)
Ini adalah arena lama saya: Kripto dan Saham. Bedanya apa dengan yang dulu?
Dulu, lapisan ini adalah segalanya. Sekarang, ia menjadi salah satu bagian, dan porsinya paling atas. Setelah Lapisan 1 dan 2 aman, saya bisa melihat Lapisan 3 dengan kepala yang jauh lebih dingin.
Saat ini, saya sedang dalam fase ‘wait and see’. Aksi drawdown saya hentikan karena floating loss sudah mengecil. Saya tidak perlu panik, tidak perlu cut loss terburu-buru, karena saya tahu dana darurat saya aman dan tujuan masa depan saya tetap berjalan.
Bagaimana Strategi Kekayaan 3 Lapis Ini Menyembuhkan FOMO
Manfaat terbesar dari struktur 3 lapis ini ternyata bukan diversifikasi aset. Manfaat terbesarnya adalah ketenangan pikiran.
Ini adalah ‘obat’ FOMO (Fear of Missing Out) saya yang sesungguhnya.
Ketika pondasi saya belum ada, setiap pergerakan pasar di Lapisan 3 terasa seperti ancaman eksistensial. Sekarang, saya jauh lebih objektif. Saya sudah mulai mengurangi FOMO saya pada kripto atau saham yang sedang ‘naik daun’. Saya bisa merangkai keputusan investasi berdasarkan kebutuhan dan analisis yang tenang, bukan berdasarkan kepanikan atau keserakahan.
Penutup: Amankan Diri Anda Terlebih Dahulu
Perjalanan ini mengubah saya dari seorang spekulan menjadi seorang arsitek.
Jika Anda seorang founder atau profesional muda yang mungkin masih 100% terjebak di mentalitas Lapisan 3—hanya mengejar high risk, high return—pesan saya sederhana:
“Gak masalah ketika Anda ingin mencoba atau belajar, tetapi kalau sudah ada di tahap yang mana Anda punya sesuatu yang lebih besar atau harus dipertahankan di masa depan, silakan pikir dua kali untuk mengamankan diri Anda dahulu.”
Membangun kekayaan bukan hanya soal seberapa cepat Anda berlari, tapi seberapa kokoh pondasi yang Anda bangun untuk perjalanan panjang di depan. Pendekatan strategi kekayaan 3 lapis ini adalah cara saya melakukannya.
