Di dunia startup yang penuh janji manis dan impian, ada satu kenyataan pahit yang sering dihindari: memecat teman kerja. Ini bukan sekadar keputusan bisnis, ini adalah pengkhianatan terhadap diri sendiri, terhadap visi yang dibangun, dan terhadap setiap tetes keringat yang sudah dicurahkan. Siapapun yang duduk di kursi founder dan harus membuat pilihan ini akan mengerti. Ini adalah garis tipis antara loyalitas buta dan melindungi “anak” yang sedang kita besarkan.
Baca Juga: Jadilah Orang FOMO: Mengubah Ketakutan Ketinggalan Menjadi Mesin Pertumbuhan
Investasi Personal: Ketika Loyalitas dalam Bisnis Diuji
Saya selalu percaya pada kekuatan kolaborasi, terutama dengan mereka yang dekat di hati. Ketika Harkovnet mulai terbentuk, saya tidak ragu untuk menarik orang-orang yang saya kenal, bahkan jika mereka belum memiliki spesialisasi mumpuni. Saya berinvestasi penuh: modul, bootcamp, online course — semuanya demi mereka bisa berkembang. Pembagian profit? Mereka selalu mendapatkan persentase yang jauh lebih besar dari seharusnya, transparan, demi menunjukkan bahwa loyalitas dalam bisnis ini bukan sekadar omong kosong dari saya. Saya membangun fondasi kepercayaan, berharap mereka akan tumbuh bersama, bukan malah meruntuhkannya.
Tanda Seorang Rekan Kerja Tidak Profesional Mulai Terlihat
Namun, niat baik itu seringkali dibalas dengan arogansi. Perlahan, saya mulai melihat gelagat aneh yang menjadi sinyal bahaya. Ini bukan lagi soal efisiensi, ini tentang mentalitas yang merusak.
Masalah ini datang dari beberapa lini. Sebut saja ‘Si A’ yang selalu meremehkan brief teknis, ‘Si B’ yang keluhannya lebih banyak dari karyanya, dan ‘Sang C‘ yang justru membuat alur kerja berantakan. Pola mereka sama: arogansi yang dibungkus dengan ketidakbecusan. Ini bukan lagi soal kesalahan individu, tapi wabah mentalitas yang mengancam fondasi perusahaan.
Arogansi dalam Meremehkan Tugas
Tugas yang seharusnya dikerjakan dengan serius dan presisi tinggi malah “digampangkan”. Ada sikap meremehkan tanggung jawab yang pada akhirnya menghasilkan kualitas kerja di bawah standar.
Mentalitas Korban dan Keluhan Konstan
Keluhan-keluhan kecil mulai membesar menjadi omelan tak berdasar. Alih-alih mencari solusi, mereka justru menyalahkan keadaan, padahal semua fasilitas dan bahkan dukungan AI sudah tersedia untuk menunjang pekerjaan mereka.
Dampak Langsung pada Klien
Puncaknya, performa tim menurun drastis, dan yang paling fatal, klien mulai mempertanyakan profesionalitas Harkovnet. Ini adalah bentuk sabotase halus dari dalam, perlahan namun pasti, menggerogoti reputasi yang saya bangun dengan susah payah.
Puncak Masalah: Antara Teman dan CEO
Pertarungan batin saya tidak main-main. Di satu sisi, ada ikatan pertemanan yang sudah terjalin lama. Di sisi lain, ada Harkovnet—bisnis yang saya anggap seperti anak sendiri—yang sedang sekarat karena ulah mereka. Saya sadar, loyalitas yang berlebihan kini telah menjadi racun. Belas kasih yang saya berikan justru disalahgunakan, menjadi sebuah risiko yang bisa menghancurkan semua yang telah saya cita-citakan.
Di titik itu, saya harus membuang sentimen. “It’s nothing personal, just business.” Kalimat klise ini mendadak menjadi tameng dan pedoman. Saya tidak mungkin mengorbankan masa depan Harkovnet hanya karena enggan memecat teman kerja yang jelas-jelas tidak sejalan lagi. Ini adalah keputusan sulit founder, tapi harus diambil. Tegas.
Pelajaran dari Keputusan Memecat Teman Kerja
Maka, keputusan itu saya buat. Pemecatan itu bukan karena benci, tapi karena saya harus melindungi visi ini. Sekarang, bertahun-tahun kemudian, saya melihat kembali kejadian itu. Mereka yang dulu meninggalkan saya dan Harkovnet dengan cara tidak profesional, yang mengeluh dan arogan, kini memiliki jenjang karier yang tidak jelas. Informasi dari beberapa sumber terpercaya menguatkan satu hal: sifat mereka sendiri itulah yang menjadi belenggu. Karena pada akhirnya, jika kamu ingin dihargai, maka hargailah orang lain. Tidak ada seorang pun di dunia profesional ini yang akan menghargai arogansi dan keluhan tanpa dasar.
Pesan saya untuk semua founder: Siapapun yang bersama kita, kita harus tegas. Tunjukkan siapa yang memimpin, siapa yang punya otoritas. Karena hanya dengan begitu, kita bisa membangun tim yang solid dan memastikan visi kita tidak pernah terancam oleh mereka yang tidak tahu cara bersyukur.