Bagi sebagian orang, sebuah jam tangan hanyalah alat untuk menaklukkan waktu. Namun bagi saya, benda yang melingkar di pergelangan tangan ini adalah penanda babak kehidupan. Ia bukan sekadar objek, melainkan sebuah kapsul waktu yang menyimpan cerita, memori, dan evolusi diri. Di antara koleksi yang saya miliki, ada tiga buah jam yang membentuk sebuah fondasi naratif yang saya sebut The Seiko Trinity. Ini bukanlah kisah tentang jam tangan mewah berharga selangit, melainkan tentang tiga pilar yang menandai perjalanan saya dari sekadar pemakai menjadi seorang penikmat horologi sejati.
Baca Juga: Selamat Ulang Tahun Kepada Diriku (2025)
Pilar Pertama: Sang Katalis – Seiko 5 ‘The First Gift’

Saya tumbuh di lingkungan di mana jam tangan adalah bagian dari keseharian. Kakek saya memakainya, ayah saya pun demikian. Sejak sekolah dasar hingga menengah, pergelangan tangan saya tidak pernah kosong. Namun, fungsinya murni utilitarian. Merek seperti Swiss Army atau Skmei menjadi pilihan karena satu alasan: mereka menunjukkan waktu. Saya belum peduli pada seni di baliknya.
Pergeseran itu terjadi secara perlahan, dipicu oleh percakapan dengan banyak orang yang menceritakan kisah di balik jam tangan mereka. Saya mulai mengerti bahwa ada dunia yang lebih dalam di balik jarum detik yang terus berputar. Titik puncaknya datang bukan dari sebuah pembelian, melainkan dari sebuah hadiah. Pasangan saya memberikan sebuah Seiko 5 dengan dial berwarna putih bersih.
Momen itu mengubah segalanya. Jam itu bukan lagi sekadar penunjuk waktu; ia adalah real-watch pertama saya. Sebuah tanda bahwa passion yang baru tumbuh ini didukung oleh orang terkasih. Seiko 5 itu menjadi sang katalis—pintu gerbang yang membawa saya masuk lebih dalam ke dunia horologi, mengubah cara saya memandang sebuah jam tangan untuk selamanya.
Pilar Kedua: Pernyataan Diri – Seiko 5 ‘The Art Piece’

Setelah pintu itu terbuka, saya tidak lagi mencari jam tangan hanya untuk mengisi kekosongan. Saya mencari sebuah pernyataan diri. Jam kedua dalam The Seiko Trinity adalah sebuah pilihan yang sepenuhnya sadar, sebuah perwujudan identitas baru saya sebagai seorang kolektor. Ini bukan lagi tentang ‘diberi’, tapi tentang ‘memilih’.
Pilihan saya jatuh pada sebuah Seiko 5 lain dengan dial yang unik—memiliki tekstur yang di bawah cahaya tampak seperti serpihan berlian. Jam ini adalah jawaban atas keinginan saya untuk memakai sebuah karya seni. Ia adalah cara saya berkomunikasi tanpa kata, menunjukkan bahwa yang saya kenakan adalah buah dari apresiasi, bukan sekadar aksesori.
Yang paling saya sukai adalah dualitasnya. Dial-nya memancarkan kesan elegan dan mahal, namun semua itu dibalut dalam jenama Seiko yang terkenal dengan kerendahan hatinya. Ia adalah sebuah kemewahan yang tidak berteriak, sebuah statement bahwa nilai sejati seringkali tidak terletak pada label harga, melainkan pada keunikan dan cerita yang dibawanya.
Pilar Ketiga: Penjelajah Modern – Seiko Alba ‘The Hidden Gem’

Setiap koleksi yang baik butuh keseimbangan. Jika dua pilar pertama mewakili makna personal dan identitas artistik, pilar ketiga mewakili sisi lain dari seorang kolektor: kecerdasan dalam berburu dan keberanian untuk bereksplorasi. Inilah peran yang diisi oleh Seiko Alba, sebuah hidden gem yang saya temukan di Facebook Marketplace.
Saya mendapatkannya dengan harga yang sangat baik dari sesama kolektor. Kondisinya mulus, lengkap dengan kotak dan dokumen—sebuah kepuasan tersendiri bagi seorang pencari. Tujuan awal saya membelinya sebenarnya sangat praktis: saya ingin menguji apakah jam tangan berdiameter 40mm cocok di pergelangan tangan saya yang tergolong kecil. Ternyata, ia pas dengan sempurna.
Namun lebih dari itu, Seiko Alba ini memberikan warna baru dalam The Seiko Trinity. Desainnya yang lebih modern menjadi penyeimbang yang pas bagi aura klasik kedua Seiko 5 sebelumnya. Ia adalah jam tangan yang saya pilih saat ingin tampil lebih kontemporer, membuktikan bahwa koleksi yang baik tidak harus terpaku pada satu gaya saja.
Sebuah Refleksi dari Tiga Pilar

Melihat kembali ketiga jam tangan ini, saya tidak hanya melihat logam dan kaca. Saya melihat sebuah perjalanan. Sang Katalis yang membuka mata saya, Sang Pernyataan Diri yang mengukuhkan identitas saya, dan Sang Penjelajah Modern yang mengajarkan saya untuk terus bereksperimen.
Nilai sejati dari koleksi ini bukanlah nominalnya, melainkan kumpulan cerita yang membentuk siapa saya hari ini. Karena pada akhirnya, membangun koleksi yang bermakna adalah bagian kecil dari sebuah upaya yang lebih besar, sebuah filosofi yang selalu saya pegang: on building a life of consequence.